Masyarakat Bugis-Makassar selain terkenal dengan pelaut ulungnya, juga terkenal dengan karakter pekerja kerasnya dalam bidang perdagangan setelah masyarakat tionghoa di urutan pertama dalam konteks ke Indonesiaan. Hal ini dapat kita lihat banyaknya masyarkat Bugis-Makassar yang sukses di perantauannya di segala pelosok Indonesia dalam bidang perdagangan atau jual beli secara langsung.
Dalam konteks kesuksesan masyarakat Bugis-Makassar di bidang perdagangan ini, terdapat sebuah tradisi keyakinan yang telah diturunkan oleh to matoa riolo (orang tua dulu) yaitu Doi’ Kalomping dalam bahasa Bugis atau Doe’ Kalomping dalam bahasa Makassar. Tradisi kayakinan ini masih dilakoni sampai sekarang oleh sebagian besar masyarakat Bugis-Makassar yang terjun dibidang jual beli secara langsung.
Secara etimologi kata Doi’ atau Doe’ berasal dari bahasa Bugis-Makassar yang berarti uang. Sedangakan kata Kalomping merupakan sebuah tradisi atau simbol kerohanian masyarakat Bugis Makassar sejak nenek moyang yang berarti daun siri yang dilipat berbentuk segitiga yang biasa digunakan dalam upacara spiritual kerohaniaan sebelum Islam datang ke tanah Bugis-Makassar[1] yakni menganut animisme.
Berdasarkan pendefinisian kata diatas, dapat disimpulkan bahwa kata Doi’/Doe’ Kalomping adalah Uang yang dilipat berbentuk segitiga, yang digunakan dalam upacara spritual kerohaniaan masyarakat Bugis-Makassar. Namun dalam konteks perdagangan masyarakat Bugis-Makassar menyakini Doi’/Doe’ Kalomping sebagai symbol atau jimat yang memiliki daya megis untuk mendatangkan penglaris bagi dagangan.
Dengan masuknya Islam di tanah Bugis-Makassar symbol keyakinan tradisi Doi/Doe’ Kalomping ini terjadi sebuah islamisasi pemaknaan. Yang semula bentuk Kalomping (segitiga) dimaknai dengan keyakinan akan adanya daya megis menjadi sebuah pemaknaan bentuk Lam Alif yakni salah satu huruf hijayah yang dimaknai secara islami. Dalam pemaknaan secara islami ini, masyarakat Bugis-Makassar memaknai bahwa Bentuk Kalomping berbentuk Lam Alif yang berarti tidak ada tuhan selain Allah, satu-satunya serta tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW tentang faedah huruf hijayah yang artinya sebagai berikut: Dari Husein bin Ali bin Abi Thalib as. “Seorang Yahudi mendatangi Nabi Muhammad SAW. Pada saat itu Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as bersama Nabi. Yahudi itu berkata kepada Nabi Muhammad SAW : "apa faedah dari huruf hijaiyah ?" Rasulullah SAW lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib as, “Jawablah”. Lalu Rasulullah SAW mendoakan Ali, “ya Allah, sukseskan Ali dan bungkam orang Yahudi itu”. Lalu Ali berkata : “Tidak ada satu huruf-pun kecuali semua bersumber pada nama-nama Allah swt” Kemudian Ali berkata : “.…….Lam alif artinya tidak ada tuhan selain Allah, satu-satunya serta tidak ada sekutu bagi-Nya. Rasulullah lalu berkata “Inilah perkataan dari orang yang telah diridhai Allah dari semua makhluk-Nya”. Mendengar penjelasan itu maka yahudi itu masuk Islam.”
Dalam konteks perdagangan, Kalomping dimaknai dengan Dzat Allah yang maha pemberi rezki. Dialah Dzat satu-satunya yang memberikan reski kepada ummatnya bagi yang selalu berusaha. Disinilah pemaknaan masyarakat Bugis-Makassar apabila mendapatkan Uru Balu’ (pembeli pertama) dalam berdagang membuat Doe’/Doi’ Kalomping yang diyakini sebagai Panggolli’ Doi’ (penglaris) yang lillahi ta’ala (Karena Allah SWT maha pemberi reski) sehingga tidak menyebabkan penyekutukan kepada selain Allah SWT***
[1]W.G, Talitha dalam glosarium makalah Proses Kerja Masyarakat Nelayan, Institute Pertanian Bogor, 2001, hal. 18


