"Kau begitu bau dan kotor namun dirimu tetap disapa,
Kau begitu beresik dan sesak namun dirimu tetap disambut dan
Kau begitu tau segalanya atas kebutuhan kami, terima kasih"
Kau begitu beresik dan sesak namun dirimu tetap disambut dan
Kau begitu tau segalanya atas kebutuhan kami, terima kasih"
Setiap sore, pasar itu ramai dikunjungi oleh ibu rumah tangga yang mencari bahan pangan untuk menu santapan malam keluarga. Ditengah keramaian lalu lalang pembeli, seorang pedagang sayuran dengan bermodalkan gerobak menjajakan dagangannya. Ada beberapa jenis sayur yang dijajakan, di ikat dengan rapi sesesuai takaran harga yang ditentukannya. Ada sayur bayam, kangkung, sawi dan beberapa jenis sayuran daun dan umbi-umbian lainnya. Namun diantara sayur hanya beberapa yang laris dibeli oleh ibu-ibu rumah tangga, sebab jenis sayur itu mudah diolah tanpa menambahkan jenis sayur lainnya, kata seorang ibu sambil mententeng barang bawaannya. Sayur kangkung dan bayam menjadi best seller disetiap transaksi sayur-mayur dipasar, tak heran pedangang sayur tersebut lebih proaktif mengontrol kualitas sang sayur. Harganya pun sangat murah hanya dengan seribu rupiah seikat kangkung dapat dinikmati oleh seluruh keluarga yang berjumlah dua sampai tujuh anggota keluarga, jauh lebih murah dan banyak dibandingkan dengan Indomie, yang katanya lebih hemat dan sehat. Apalagi disantap bersama dengan keluarga jauh lebih asyik dan berberkah.
Sebelum menjajakan sayurnya, si pedagang terlebih dahulu memilah-milah daun yang sudah kekuning-kuningan agar tampak segar dan diminati oleh pembeli sebagai konsekuensi sayur yang berkualitas. Daun demi daun dipilahnya membuat kuku jemarinya tampak kehitaman, pandangan mata dan gerakan jemarinya seirama memetik daun yang kekuningan seakan seorang komposer yang mengarahkan orkestra. Setelah semuanya dipetik dampak kehijauan barulah diikat dengan karet sesuai dengan takaran harga seribu perikatnya, sebesar genggaman orang dewasa ia mengikatnya tanpa mengetahui berapa banyak batang kangkung yang ada digemgamannya. Hanya bermodalkan naluri ia memprediksi untung rugi dagangannya, namun sudah pasti ia untung walau hanya beberapa rupiah saja dalam seikat kangkung yang laku terjual. Sebagaimana layaknya jual-beli, negosiasi harga pastilah terjadi. Dengan harga seribu rupiah per ikatnya kadang pembeli menawarnya dengan dua ribu rupiah untuk tiga ikatnya. Ia pun tak segang menerima tawaran itu, pikirnya daripada sayurnya tinggal kemalaman dan tidak laku lebih baik ia menerima asalkan sudah kembali modal dan merupakan kebahagian tersendiri baginya dapat menjajakan hasil dagangannya di meja makan keluarga konsumen, demikian cara bisnisnya yang tidak memerlukan logika kapitalisme yang sangat ekploitatif dan akumulasi laba yang tinggi.