bersama-sama dengan anda sekaligus menentang anda”
(Pier Paolo Pasolini, Le ceneri Gramsci)
“Manusia hanya berada di permukaan dangkal peradaban;
jika mereka tergores sedikit saja,
maka laipisan serigala dalam dirinya akan muncul dengan cepat”
(Gramsci, Oppressi ed oppressori,1910)
Berbicara mengenai Analisis Wacana Kritis berarti –memakai konsep
dialektika- “ada” Analisis Wacana yang tidak Kritis. Nah disinilah kita
sering terjebak dalam memaknai suatu analisis wacana apakah kritis atau
tidak yang penting mampu mengkritik suatu kemapanan dalam kehidupan
tanpa memberikan konstruktif alternative dan terkesan apologis.
Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk mengkaji antara Analisis Wacana
Kritis dan Analisis Wacana “yang” tidak kritis, perlu kiranya kita
memetakan antara kata Analisis, Wacana, dan kata Kritis. Dalam kamus ilmiah populer kata Analisis
diartikan sebagai penguraian/kupasan, atau dalam ranah praksis biasa
diartikan suatu kegiatan yang bersifat mengurai fenomena-fenomena baik
yang bersifat psikis (kejiwaan/wacana) maupun bersifat realitas.
Sedangkan Kata Wacana banyak yang mengartikannya sesuai dengan
disiplin ilmu mereka masing-masing, mulai dari Komunikasi, Psikologi,
Sosiologi, Politik, Hukum, Sastra, dan lain sebagainya. Untuk
mengartikan Kata Wacana, penulis merujuk kepada pendapat Michel
Foucault –salah seorang pemikir postmodernis/post-struktural yang banyak
disebut-sebut sebagai pencetus Teori Wacana kontemporer- yang
mengartikan Wacana merupakan suatu cuplikan realitas dan
seperangkat resep bagi perilaku yang didasarkan pada suatu bentuk
pengetahuan tertentu, seperti dalam wacana medis, wacana agama.[2] Kata Kritis dalam kamus ilmiah populer diartikan sebagai tajam/tegas dan teliti dalam menanggapi atau memberikan suatu penilaian.
Dalam Analisis Wacana baik Kritis maupun tidak, memiliki titik singgung
yang sama yaitu masing-masing menganalisis mengenai bahasa/pemakaian
bahasa. Ada tiga perbedaan bagaimana bahasa dipandang dalam analisis
wacana (baik kritis maupun tidak). Pandangan pertama, diwakili oleh kaum Positivisme-empiris yang
melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar
dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung
diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi,
sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis,
sintaksis (tata kalimat), dan memiliki hubungan dengan pengalaman
empiris.[3]
Salah satu ciri pandangan ini adalah pemisahan antara pemikiran dan
realitas. Dalam kaitannya dengan Analisis wacana, orang tidak perlu
mengetahui makna-makna subjek atau nilai yang mendasari pernyataannya,
sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar
menurut kaidah sintaksis dan semantik (tata bahasa). Pandangan kedua, disebut sebagai Konstuktivisme. Pandangan ini menolak pandangan Positivisme-empiris yang memisahkan subjek dan objek bahasa (pemikiran dan realitas). Dalam pandangan Konstruktivisme,
bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas
objektif belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai
pernyataan, tetapi justru menganggap subjek sebagi factor sentral dalam
kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki
kemampuan melakukan control terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap
wacana, dan bahasa diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyatan
yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya memiliki tindakan
penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan
jati diri dari sang pembicara.[4] Sedangkan Pandangan ketiga, disebut sebagai pandangan Kritis. Pandangan ini ingin mengoreksi pandangan Konstuktivisme
yang kurang sensitive pada proses produksi dan reproduksi makna yang
terjadi secara historis maupun institusional (bersifat kelembagaan).
pandangan Konstruktivisme juga masih belum menganalisis
factor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren (berhubungan erat) dalam
setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis
subjek tertentu berserta perilaku-perilakunya. Dalam pandangan Kritis menekankan
pada konstelasi (seluk beluk suatu persoalan) kekuatan yang terjadi
pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap
sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai
dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh
kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Bahasa dalam pandagan Kritis dipahami
sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu,
tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi didalamnya. Oleh
karena itu, Analisis wacana –dalam pandangan ini- dipakai untuk
membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: bataasan-batasan
apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai,
topik apa yang dibicarakan; dan melihat bahasa selalu terlibat dalam
hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai
tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat.[5]
Berdasarkan beberapa pandangan diatas, kita dapat mengklasifiksikan
mana analisis wacana kritis dan yang tidak kritis. Analisis wacana yang
memakai pandangan kategori ketiga diatas inilah yang disebut Analisis
Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis) sedangkan yang memakai
pandangan kategori yang pertama dan kedua disebut Analisis Wacana
(Discourse Analysis).
Dalam Analisis Wacana Kritis, bahasa dianalisis bukan dengan
menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkan
dengan konteks dan sebagai praktek sosial yang menbentuknya. Konteks
disini berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan praktek tertentu,
termasuk didalamnya praktek kekuasaan. Menggambarkan wacana sebagai
praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis diantara peristiwa
diskursif (menyimpang) tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur
sosial yang membentuknya. Praktik wacana juga dapat menanpilkan efek
ideologi, misalnya ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan
kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita,
kelompok mayoritas dan minoritas melalui mana perbedaan itu
direpresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan. Melalui Wacana,
sebagai contoh, keadaan yang rasis, seksis, atau ketimpangan dari
kehidupan sosial dipandang sebagai suatu common sense, suatu
kewajaran atau alamiah dan memang seperti itu kenyataannya. Analisis
Wacana Kritis melihat bahasa sebagai factor penting, yakni bagaimana
bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaaan dalam masyarakat
terjadi, bahkan kita dapat menyelidiki bagaimana kelompok sosial yang
ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing.
Untuk mengetahui hal tersebut, penulis akan menyajikan lima (5) karkteristik Analisis Wacana Kritis. Pertama, Wacana dipahami sebagai sebuah Tindakan (Action).
Dengan pemahaman semacam ini mengasosiasikan wacana sebagai bentuk
interaksi, misalnya, orang yang berbicara atau menulis bukan ditafsirkan
sebagai ia menulis atau berbicara. Dalam pemahaman seperti ini, ada
beberapa konsekuensi bagaimana wacana harus dipandang. Pertama, wacana
dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk meempengaruhi,
mendebat, membujuk, menyangga, bereaksi,dan sebagainya. Seseorang
berbicara atau menulis mempunyai maksud tertentu, baik besar maupun
kecil. Kedua, wacana dipahami sesuatu yang diekspresikan secara sadar,
terkontrol, bukan sesuatu yang diluar kendali atau diekpresikan diluar
kesadaran. Kedua, Analisis Wacana Kritis mempertimbangkan Konteks
dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi.Selain itu,
Analisis Wacana Kritis juga memeriksa konteks dari komunilkasi: “siapa
yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak
dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari
perkembangan komunikasi; dan berhubungan untuk setiap masing-masing
pihak”.[6]
Perlu diketahui bahwa tidak semua konteks dimaksukkan dalam analisis,
hanya yang relevan dan dalam banyak hal berpengaruh atas produksi dan
penafsiran teks yang dimaksukkan dalam analisis. ada beberapa Konteks
yang penting karena berpengaruh terhadap produksi wacana. Pertama,
partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana, jenis kelamin,
umur, pendidikan, kelas sosial, etnis, agama, dalam banyak hal relevan
dalam menggambarkan wacana. Kedua, setting sosial tertentu, seperti
tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik yang
merupakan konteks yang berguna untuk mengerti suatu wacana. Ketiga,salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah menempatkan wacana dalam Historis tertentu.
Misalnya kita menganalisi teks selebaran mahasiswa menentang Soeharto.
Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa
memberikan konteks Historis dimana teks itu diciptakan, bagaimana situasi politk, suasana pada saat itu, dan mengapa bahasa yang dipakai seperti itu. Keempat, Analisis Wacana Kritis Juga mempertimbangkan elemen Kekuasaaan (power)
dalam menganalisis wacana. Disini, setiap wacana yang muncul dalam
bentuk teks, percakapan, atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu
yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan
kekuasaan. Konsep Kekuasaan merupakan salah satu kunci hubungan
antara wacana dengan masyarakat. seperti kekuasaaan seseorang guru
kepada muridnya, kekuasaan penceramah terhadap jemaahnya, dan lain
sebagainya. Hal ini mengimplikasikan analisis wacana kritis tidak
membatasi diri pada detil teks atau stuktur wacana saja tetapi juga
menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi sosial, ekonomi, politik, dan
budaya tertentu. Pada Konsep Kekuasaan dalam hubungannya dengan wacana menghasilkan apa yang disebut “control” atau -meminjam istilah Foucaul -“Disiplin Tubuh” baik secara mental/psikis maupun secara represif. Kelima atau Terakhir, Karakteristik terakhir untuk mengetahui Analisis Wacana Kritis adalah Ideologi.
Ideologi merupakan konsep sentral dalam analisis ini, dikarenakan teks,
percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau
pencerminan dari ideologi tertentu. Dalam teoti-teori klasik tentang
ideologi diantarnya mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok
yang dominan dengan tujuan untuk memreproduksi dan melegitimasi dominasi
mereka. Salah satu strategi utamanya adalah dengan membuat kesadaran
kepada khayalak bahwa dominasi itu diterima secara taken for granted,
melalui -apa yang disebut oleh Gramsci- Hegemoni dan menciptakan
kesadaran palsu. Ideologi membuat anggota dari suatu kelompok akan
bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah masalah
mereka, dan memberikan kontribusi dalam membentuk solidaritas dan kohesi
di dalam kelompok. Dalam prespektif ini ideologi mempunyai beberapa
implikasi penting: Pertama, Ideologi secara inheren bersifat sosial,
tidak personal atau individual; Kedua, Ideologi meskipun bersifat
sosial, ia digunakan secara internal diantara anggota kelompok atau
komunitas. Oleh karena itu, ideologi tidak hanya menyediakan fungsi
koordinatif dan kohesi tetapi juga membentuk identitas diri kelompok,
membedakan dengan kelompok lain. Dalam pandanga semacam ini, wacana lalu
tidak dipahami sebagai sesuatu yang netral dan berlangsung secara
alamiah, karena dalam setiap wacana selalu terkandung ideologi untuk
mendominasi dan berebut pengaruh.
Pada kelima karakteristik Analisis Wacana Kritis diatas, kita dapat
mengkaji wacana-wacana yang diproduksi oleh para elit rakyat yang banyak
melahirkan ketimpang sosial yang berimplikasi pada kesadaran palsu
masyarakat melalui disinformasi dan ekstasi komunikasi yang
dibuatnya.*** Belajar-Berjuang-Bertaqwa…
[2] Pengantar teori-teori sosial, pips jones, dalam glosarium.hlm. 284
[3]
Mohammad A. S. Hikam, “Bahasa dan Politik: Penghampiran Disccursive
Practice”, dalam Yudi latif dan Idi Subandy Ibrahim (ed), Bahasa dan
Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Bandung, Mizan, 1996,
hlm. 78-86
[4] Mohammad A. S. Hikam, ibid., hlm. 80
[5] Ibid, hlm,. 85
[6] Guy Cook, The Discourse of Advertising,
London and New York, Rautledge, 1994, hlm 1. dikutip dalam Eriyanto,
Analisis wacana: pengantar ananlis teks media, Yogyakarta, Lkis, 2001,
hlm. 9.
